MATA Uha Juhaeri (63) nanar melihat kampung halamannya yang ditinggalkan selama dua tahun. Desa Cibeureum, Kecamatan Cimalaka yang ada di kaki Gunung Tampomas yang sangat subur ketika ditinggalkannya, menjadi gersang seperti padang pasir.
“Saat pertama kali menginjakan kaki lagi ke kampung halaman sepulang transmigrasi dari Lampung, saya kaget melihat lahan subur di lereng Tampomas menjadi padang gersang,” ujar bapak lima anak sambil mengenang masa lalu.
Ia mengaku tertegun sebab dua tahun meninggalkan kampung halaman ke Lampung pada 1984 dan kembali lagi 1986, ternyata lahan subur sudah hancur. “Saya mencari penghasilan ke Lampung tapi tanah sendiri malah rusak,” katanya.
Tapi kejadian itu sudah berlalu hampir 21 tahun. Ia tidak mau hanya menangisi lingkungan yang rusak. “Saya harus berbuat,” tekadnya.
Usaha tak kenal lelah mengelola lahan kritis sisa penambangan pasir di kaki Gunung Tampomas membuahkan hasil. Padahal saat pertama kali akan menghijaukan lahan sisa penambangan yang mirip padang pasir itu tak sedikit tetangganya bahkan keluarga mencibir.
Uha nekad membeli 100 tumbak atau 1.400 meter persegi yang harganya Rp 1.000 per tumbak. “Saya malah ditertawakan keluarga dan tetangga ketika membeli lahan gersang di kaki Tampomas yang berjarak satu kilometer dari rumah,” kata Uha.
Selama satu tahun lahan itu dibiarkan dan Uha hanya meratakan saja lahan gersang itu. “Saya menjadi petani dan kalau pulang kerja lewat ke lahan, saya meratakannya. Saat itu juga saya mencoba menebarkan pupuk kandang dilahan itu. berbagai cara dicoba, istilahnya sudah seribu kali percobaan untuk menanam pohon,” kata Uha.
Ternyata dari puluhan jenis pohon yang bisa hidup disana cuma pohon Gamal atau dikenal juga dengan Dadap Inggris. “Kalau kami disini menyebutnya pohon Cebreng, karena kalau ditanjebkeun akan reng daunnya. Ternyata dalam waktu satu tahun pohon itu tumbuh sampai 50 cm,” katanya.
Karena pohon cebreng tumbuh, Uha membangun gubuk dan membuat kandang ayam. “Sempat memelihara ayam kampung tapi ternyata malah berkeliaran ke kebun orang. Dari pada piomongeun saya tak jadi mengembangkan ayam,” kata Uha.
Karena kehabisan bekal dan modal membuat Uha banting stir dan ikut menanam erbis. “Saya menamam erbis dan memasarkan erbis itu ke Jakarta,” kenang Uha.
Saat jualan di perbatasan Depok dengan Pasarminggu, Jakarta, Uha melihat ada dua orang yang mengangkut kambing dalam mobil. Ia mendapat ilham mengapa tidak mengembangkan ternak kambing di lahan kritis yang kini mulai ditanami cebreng itu. “Saya berpikir punya lahan yang sudah ada tanaman cebreng sebagai pakan ternaknya,” kata Uha yang mengaku juga saat itu ia selalu mendengarkan acara pedesaan yang disiarkan RRI.
Menurut Uha, saat itu penyiarnya menyebutkan para peternak kambing akan panen raya. “Saya kaget kok peternak kambing bisa panen raya. Bukankah yang panen raya itu hanya petani padi saja. Ternyata penyiar itu menyebutkan panen raya kambing karena sebentar lagi akan Idul Adha atau kurban,” katanya.
Tekad Uha sudah kuat, ia ingin beternak kambing. Tapi uang tak mencukupi untuk beli kambing. “Bersama istri, saya menjual cabe rawit yang ditaman diantara erbis. Saya beli dua ekor kambing sepasang dan nengah dari tetangga satu ekor betina,” katanya.
Ternyata kambing itu beranak pinak dan berkembang biak. Uha pun menjadi bandar. “Saya menjual empat ekor kambing seharga Rp 800 ribu pada tahun 1994 dan banyak warga setempat kaget dengan keberhasilan itu,” kata Uha.
Perjuangan Uha menghijaukan lahan kritis itu membuat warga setempat tertarik dan menyerahkan lahan kritis untuk dikelolanya. “Saat ini kelompok tani Simpay Tampomas sudah memilik anggota 30 orang dan sudah menghijaukan lahan 12 hektare dan saat ini memiliki populasi 350 ekor kambing,” ujarnya bangga.
Dulu harga tanah sisa galian pasir itu seharga Rp 1000 per tumbak tapi kini menjadi Rp 50 ribu per tumbak. “Harga lahan sisa penambangan itu kini menjadi mahal. Kalau dulu dijual murah,” katanya. ***
==========================================
Buah Naga di Lereng Tampomas
KERJA kerasnya berbuah. Kini lahan hijau seluas 12 hektare di kaki Gunung Tampomas bagian selatan menjadi noktah kecil di hamparan 306,43 hektare lahan yang gersang karena pengalian pasir.
Di kawasan Cimalaka dari luas penambangan pasir 252,37 hektare ternyata 214,69 hektare bekas galian dibiarkan tanpa reklamasi alias gersang dan menjadi hamparan padang pasir.
Bukit yang dulu hijau sudah menjadi cekungan dan sumur raksasa yang gersang tinggal batu kerikil. Setiap hari tak kurang dari 500-1.000 truk lalu lalang mengangkut pasir. Debu berterbangan ditengah udara panas dan hamparan padang pasir sisa galian mulai dari mulut jalan di Desa Cibeureum Kulon.
Tapi saat perjalanan berbelok ke sebelah kanan menuju blok Ciseureuh, Kampung Tarikolot, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka suasana tak begitu terasa panas. Di kawasan inilah laboraturium alam milik Uha Juheri (63) yang dikelola sejak 21 tahun lalu menjadi oase di padang pasir.
Lahan ini terlihat hijau dengan pohon-pohon Dadap Inggris atai Cebreng tumbuh subur. Di lahan ini juga hidup 350 ekor kambing sebagai populasi. Setiap tahun sekitar 200 ekor kambing seharga Rp 500-750 ribu per ekor terjual.
Saat berada di laboraturium alam yang berada di kawasan hijau sudah tersedia bangunan pertemuan, mushola dan kandang kambing. Perjuanganya membuahkan hasil, selaian kawasan menjadi hijau juga sudah ribuan datang dari pelosok negeri dan luar negeri untuk belajar mengelola alam yang hancur akibat ulah manusia. Uha sempat mendapat penghargaan Kalpataru tingkat Jabar pada tahun 2000.
Kerja keras Uha, membuat ada investor yang melirik. Ia ditawari menanam buah naga. “Saya kaget ditawari tanaman yang namanya asing. Saya mau mencoba saja karena mendengar keuntungan dan prospeknya bagus,” kata Uha.
Perjanjian dibuat Pebruari 2006 dan ditanamlah 180 bibit buah naga yang didapat dari sang investor dengan harga Rp 250 ribu/bibit. “Ternyata harga bibitnya mahal. Bahkan cara menanamnya juga aneh, ukuran bibitnya sepanjang 30 cm yang harus ditanam dengan penyangga sebuah tembok beton,” katanya.
Harga mahal sangatlah wajar, karena selain bibitnya yang masih sangat langka dan pohon ini berumur panjang hingga puluhan tahun serta berproduksi atau panen setiap tahunnya. Pohon buah naga yang termasuk jenis kaktus ini juga mudah dikembangbiakkan dengan memotong tunas dan ditanam seperti awal.
Buah naga mempunyai musim panen yang sudah tetap, yaitu sekitar bulan Desember. Dua bulan sebelumnya, buah naga akan berbunga, berbuah lalu panen raya pada tiga bulan setelah berbunga. “Sekarang sedang berbunga, sebagian ada yang berbuah, sebentar lagi panen besar,” kata Uha.
Panen kali ini adalah tahun ke tiga setelah tanam, disebut sebagai panen kedua atau panen raya. Panen pertamanya terjadi di tahun kedua tanam, namun panen ini tidak berproduksi banyak. Hitung-hitungan untung pun belum dapat tercapai bahkan masih belum bisa menutupi biaya produksi.
“Panen lalu dapat 12 ton dari tiga hektare lahan. Satu pohonnya bisa menghasilkan 3,4 kg buah naga,” ujar Uha. Buah naga itu dijual Rp 30 ribu per kg dan dijual ke pasar lokal dan luar kota.
Menurutnya, harga buah naga akan naik lagi karena permintaannya sudah banyak baik dari pasar lokal maupun luar kota. “Saat panen lalu juga kewalan banyak yang pesan tapi tak terpenuhi. Sekarang saja sudah banyak yang pesan untuk panen Desember,” katanya bangga.
Keberhasil Uha ini juga ditularkan ke warga sekitarnya. Kini merek amulai melirik dan menanam pohan buah naga ini. Pohon ini mudah tumbuh dimana saja dan tidak mengenal musim tanam, kemarau atau hujan. Bahkan ditanah tandus, kering, dan rusak pun bisa tumbuh subur, buktinya di lahan kritis bekas galian.
“Karena ini jenisnya kaktus yang tidak terlalu membutuhkan air dan kuat ditanah tandus,” kata Uha.
Sayangnya, masih banyak lahan bekas galian pasir itu dibiarkan terlantar tanpa tanaman dan tandus tanpa reklamasi. Padahal warga disana siap mengelola lahan itu menjadi hijau.
Vera Suciati
Filed under: Lingkungan | 2 Comments »