Jayengrana Bertemu Barangsoy

KOLABORASI kesenian Kasumedangan dengan Barongsay yang merupakan kesenian etnis Tionghoa bertemu. Tari klasik Kasumedangan masih mendapat tempat di hati masyarakat yang terkenal dengan tahunya ini.

            Pementasan dilakukan untuk memperingati hari raya Imlek yang dirayakan etnis Tionghoa di Sumedang. Pementasan barongsay mampu menarik perhatian warga Sumedang.  “Seluruh warga harus menyadari bahwa di Sumedang terdapat berbagai jenis budaya yang berasal dari etnis yang berbeda, supaya kita merasa kaya akan senin,” tutur Riliawati, ketua pelaksana kegiatan dari Diparda.

            Arak-arakan atau helaran dibuka oleh Bupati Sumedang, Don Murdono. Sebelumnya, barongsay ini beatraksi di hadapan bupati dengan menggoyangkan-goyangkan kepala dan ekornya. Bupati hanya tersenyum ketika dia digoda barongsay sambil tak lupa memberikan angpaw yang diselipkan ke mulut si barongsay.

Yang juga menarik perhatian penonton termasuk bupati adalah penampilan dari para penari klasik yang tampil anggun mengenakan busana Kasumedangan. Perpaduan kedua seni ini ternyata mampu menghasilkan suatu penampilan yang menarik, atraktif, dan unik.

            Arak-arakan dilakukan hingga perempatan jalan Mayor Abdurahman. Di sepanjang jalan, penonton begitu antusias menyaksikan barongsay yang terus menerus memperlihatkan gerakan meloncat, berguling, dan menari. Sebagian anak-anak menjerit-jerit ketakutan melihat aksi barongsay.

            Penampilan barongsay dan tari klasik Kasumedangan tak berhenti sampai disitu. Malam harinya, penampilan ini digelar kembali di Graha Insun Medal. Pertunjukan ini lebih banyak menyedot perhatian warga.

            Pertunjukan malam menyajikan enam jenis tarian klasik. Mulai dari tari Lenyepan,  Jayengrana, Gatot Kaca Gandrung, Kembang Tarate, Kipas, dan Topeng Kelana. Kesemua tari ini mempunyai makna dan cerita masing-masing yang sebagian besar diambil dari cerita pawayangan.

            Beberapa tari merupakan hasil karya cipta dari sang maestro tari Sumedang. Tari Jayengrana diciptakan oleh almarhum Raden Ono Lesmana Kartadikusumah, tokoh tari klasik dan seni Kasumedangan. Sedangkan Kembang Tarate adalah ciptaan Bagong Koesoediarto, tokoh seni sunda yang sudah menginternasional. Hanya kedua pencipta tari inilah yang pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia sebagai pencipta tari klasik.

            Untuk menghormati maestro tari ini, sebelum penampilan tari klasik terlebih dahulu ditembangkan sebuah lagu kameumeut Ono Lesmana yaitu lagu Kastawa. Lagu ini sangat dinikmati keluarga Ono Lesmana yang turut hadir pada malam pertunjukan tersebut.

            Sebagai penampilan pertamanya, tari Leunyepan cukup memukau perhatian penonton. Tari keurseus yang berkarakter lenyep atau lungguh ini merupakan tari kebesaran di kalangan para menak dan bangsawan zaman dulu. Tari ini sering dikemas dalam pertunjukan tayub yaitu suatu pertunjukan tari yang penari dan penontonnya hanya kalangan kerajaan saja. Penari Leunyepan berjumlah lima orang diantaranya penari senior perempuan, Ny Tati K Yusran dan Ny Ratnasih Mahmud.

            Tari Jayengrana diambil dari kisah sirat menak menggambarkan kegembiraan seorang penyair Amir Hamzah  yang unggul dalam peperangan. Penarinya, Ny Dewi Srikit sangat apik membawakan tarian ini.

            Tari yang cukup membuat penonton penasaran adalah tari Gatot Kaca Gandrung. Tarian ini memberikan pesan kepada kita untuk jangan terpedaya oleh sesutau yang bersifat semu dan fatamorgana karena hanya akan membawa petaka. Makna ini diambil dari cerita bahwa Gatot Kaca sangat tergila-gila kepada Putri Pergiwa padahal dia adalah jelmaan dari Buta Cakil.

            Dalam gerakan tariannya, Gatot Kaca mengajak Putri Pergiwa untuk hidup bersama dirinya. Sang Putri menyetujuinya namun bukan untuk hidup bersama Gatot Kaca melainkan untuk menyerang Gatot Kaca. Si Putri langsung berubah menjadi Buta Cakil dan bertarung dengan Gatot Kaca. Gatot Kaca yang sudah dikenal dengan ketangguhannya, dapat dengan mudah mengalahkan si Buta Cakil.

            Tarian ini dibawakan Anwar Sanusi, Mamay Maria, dan Resi Kusumawati.

Sementara Tari Gandamanah yang dibawakan penari Ny Iis Hermansyah menceritakan Rd Arya Gandamanah yang menantang jurit pada saat sayembara drupadi. Cerita ini juga mampu membuat penonton terpukau karena gerakan tariannya sangat sarat dengan makna yang relatif mudah diterjemahkan oleh penonton.

            Penampilan terakhir yaitu tari Topeng Kelana yang menggambarkan topeng rahwana dengan menceritakan Dewi Sekar Kandoja yang berubah menjadi raja Barun untuk membebaskan suaminya. Tari inilah yang dipadukan dengan barongsay. Barongsay berperan sebagai penculik suami Dewi Sekar.

            Menjelang akhir pertunjukan sebanyak tiga barongsay dan tiga penari mendapatkan sambutan meriah dari penonton. Barongsay berkeliling ke tengah-tengah penonton meminta angpaw.

 

Vera Suciati