Mendahului Nasib

Oleh: Kurniawan Abdurrahman *)

DESEMBER adalah “Bulan yang Basah”. Hampir setiap hari hujan turun, udara menjadi lembab berair, dan matahari seringkali seolah-olah cuma bertugas sampai pukul 12 siang.

Namun untuk beberapa momen selain kelahiran dan kematian, Desember selalu menyediakan ruang untuk bertemu. Bagi mereka yang menetapkan periode putaran bumi terhadap matahari sebagai standar perhitungan waktu, maka Desember adalah bulan terakhir pada tahun berjalan, sebelum menginjak bilangan tahun selanjutnya. Orang-orang biasanya merenung. Bank-bank sibuk melakukan tutup buku, perusahaan-perusahaan mengkalkulasi rugi-laba, di televisi, majalah dan koran disajikan kalaidoskop perjalanan sebuah bangsa sejak Januari yang lalu. Singkatnya, Desember seringkali dijadikan titik pertemuan antara kenangan, pengalaman, kenyataan, dan harapan.

Demikian halnya di Kabupaten Sumedang, kota kecil di bentang alam “Tatar Tampomas”. Sekalipun dalam “gosip” skala nasional, Sumedang nampaknya baru disebut karena tiga hal. Penganan Tahu Sumedang, Skandal IPDN, dan Rossa sosok seorang diva musik Indonesia. Namun perannya tak kecil sebagai kawasan penyangga dinamika sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Bahkan dalam sejarah, Sumedang ditakdirkan menjadi tempat penyimpanan terakhir Mahkota Pajajaran, simbol kekuasaan dan ikon utama Kebudayaan Jawa Barat.

Momen politik terbesar pada tahun 2008 di Kabupaten Sumedang ini adalah Pilkada. Pada awal Januari sampai dengan April 2008 ini, elite dan rakyat Sumedang sibuk menggelar rangkaian kegiatan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, juga sekaligus memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat, yang suka atau tidak, telah menyedot dana APBD miliaran rupiah. Terlepas dari berbagai masalah yang mengiringinya, pesta demokrasi lokal itu berlangsung dan mencipta sejarah, ketika untuk pertama kalinya rakyat menentukan sendiri siapa yang berhak menjadi pemimpinnya. Penguasa Sumedang tak lagi diciptakan oleh mitos, warisan, atau ditentukan oleh beberapa orang saja. Pada tanggal 13 April 2008, 80 persen rakyat yang memegang hak pilih berbondong-bondong ke TPS, menentukan pilihannya di antara dua pasangan cabup/cawabup, sehingga terpilihlah Bupati/Wabup yang dilantik pada Juli kemudian.

Layaknya sebuah pesta perlombaan, selalu ada cerita dan pembuat cerita dibalik kemenangan dan kekalahan, kesuksesan dan kegagalan. Tim Sukses masing-masing pasangan dan rakyat pun larut dalam suasana itu. Ada senyum angkuh kemenangan, ada wajah muram kekecewaan. Ada saling tuding kelicikan, ada pula yang sampai di-“meja hijau”-kan. Bahkan ada pula anggota dewan yang harus rela turun dari kursi, di-recall. Mengapa? Ya karena setiap pilihan selalu mengundang resiko dan pengorbanan.

Gaung pilkada 2008 terus berlanjut sekalipun Bupati/Wabup terpilih telah dilantik. Konstelasi politik di DPRD pun mulai bergerak mengikuti kutub kekuasaan masing-masing. Kekosongan jabatan Ketua DPRD (karena terpilih jadi Wabup), menjadi momen politik tersendiri di kalangan internal DPRD, dan karenanya tupoksi DPRD, pelayanan fungsi-fungsi pemerintahan untuk sementara menjadi nomor dua, sampai akhirnya pada bulan Agustus 2008 terpilih Ketua DPRD baru. Namun itu tak dapat menjawab jeritan dan tuntutan para guru yang karena sesuatu dan lain hal terpaksa ditunggak pembayaran gajinya. Guru…oh guru…!!

Hal lain yang tak kalah menguras energi para elite dan penentu kebijakan politik di tahun 2008 ini adalah persiapan menghadapi Pemilihan Umum Legislatif 2008. KPU yang nampak “belum kering keringatnya” setelah usai Pilkada, kembali menghadapi tugas berat menata dan mempersiapkan pesta demokrasi nasional, Pemilu 2009. Partai-partai politik, baik yang ikut andil dalam Pilkada maupun berstatus partai baru, sibuk mempersiapkan diri. Sepanjang jalan menjadi berwarna oleh baligo, stiker, dan spanduk jualan politik. Beberapa di antaranya dipasang tak beraturan.

Satu hal yang nampak dari sini adalah suasana ketidaksiapan, meski bukan berarti tak terselesaikan. KPU dengan dana dan tenaga sisa berupaya maksimal menjalankan tugas, dan partai-partai pun yang memang selalu tidak pernah siap dalam melakukan pendidikan politik dan pengkaderan, bekerja serabutan. Dan rakyat pun kembali disuguhi permainan, manuver, sirkus dan akrobat politik. Di partai-partai besar, konflik kepentingan terhadap nomor urut pencalonan jadi contoh betapa tidak siap mekanisme pengkaderan dan pengelolaan sumber daya politik yang ada. Di partai-partai kecil, muncul masalah menyangkut “amunisi” dan cost politic yang tidak bisa dihindari. Sementara di partai-partai baru, muncul caleg asal jadi, asal terpenuhi, asal dana dari Pimpinan Pusat mengalir dan bisa dinikmati. Semua bermasalah dan mengundang masalah.

Tapi sekali lagi, itulah dinamika. Toh kehidupan di dunia itu sendiri adalah masalah. Andai saja Nabi Adam dan Siti Hawa tak pernah terayu Iblis untuk memakan buah terlarang. Upsssss…. Jangan terlalu sensitif, kita tak pantas mempertanyakan keadilan Tuhan. Dalam ke-Maha-annya, Tuhan sungguh tahu dan berkuasa menurunkan manusia ke muka bumi. Di dunia pun pada hakekatnya sosok manusia adalah pemimpin, yang wajib memimpin dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya, untuk keluar dari masalah.

Itulah cermin sebuah bangsa yang selalu diajari mengobati sakit kepala dengan obat pereda rasa sakit, bukan mencari tahu apa penyebab dan bagaimana mengobati sumber rasa sakit. Itulah sebuah cermin budaya sebuah bangsa yang terlalu lama lahir, tumbuh, dan berkembang dalam etos sebagai bangsa yang terjajah.

Di luar kaca jendela nampak langit meredup, dan hujan akan turun. Kenangan kekalahan, pengalaman untuk belajar, dan kenyataan, sedang berkumpul untuk memprediksi dan berharap. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, meminjam kalimat Andrea Hirata, “kita tak pernah bisa mendahului nasib”. Selamat Tahun Baru 2009 !! ***

*) Sekretaris DPC PBB, Caleg Dapil 3